ARTIKEL (Lpbhnusitubondo.com) Anak merupakan generasi penerus bangsa yang harus mendapatkan hak-haknya agar terpenuhi kesejahteraannya, sehingga diperlukan hukum atau peraturan perundang - undangan yang sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia. Menurut Mallon dan Hess, dalam konteks kesejahteraan sosial terdapat tiga faktor kesejahteraan anak. Pertama, kesejahteraan berarti keluarga memiliki peningkatan kapasitas untuk memenuhi kebutuhan anak. Kedua, anak-anak dan remaja menerima fasilitas yang layak untuk memenuhi kebutuhan pendidikan mereka. Ketiga, seorang anak menerima fasilitas yang layak untuk memenuhi kebutuhan fisik dan mental.
Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Pasal 26 Ayat 1 tentang peran, kewajiban, dan tanggung jawab orang tua dan keluarga terhadap perlindungan anak. Hak anak wajib diberikan dan berlaku dari anak usia dini hingga remaja usia 12-18 tahun dan baik dari anak yang memiliki orang tua, tidak memiliki orang tua, maupun anak terlantar, dan anak yang memiliki orang tua mendapatkan perantara pertama dan utama. Namun, jika orang tua tidak ada atau tidak diketahui keberadaannya atau karena suatu sebab, maka dialihkan kewajiban dan tanggung jawab pada keluarga sesuai dengan ketentuan perundang-undang. Namun, anak yang tidak memiliki orang tua berhak memperoleh perlindungan oleh negara atau seseorang atau badan dan anak yang terlantar berhak memperoleh bantuan dengan menciptakan lingkungan keluarga yang wajar.
Kurangnya Perhatian Orang Tua
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021 jumlah pemuda di Indonesia sebanyak 64,92 juta jiwa yang setara dengan 23,9% dari total populasi Indonesia dan pemuda usia 16-18 tahun sebanyak 20,87%. Kekerasan dan kenakalan remaja atau Juvenile Delinquency bisa dikatakan sebagai perbuatan atau kegiatan yang dapat merugikan diri sendiri ataupun orang lain yang ada di sekitarnya. Hal ini bertentangan dengan norma, stabilitas, moral, disiplin, dan hukum di lingkungan masyarakat yang disebabkan oleh para anak atau remaja yang masih mencari jati diri dan identitasnya. Pada saat ini, masih banyak anak-anak jauh dari kata sejahtera, masalah kekerasan serta kenakalan remaja di Indonesia yang masih cukup tinggi, sehingga menimbulkan perubahan sosial, ekonomi, ilmu dan teknologi, hingga sesuatu yang tidak dapat diperkirakan di dalam kehidupan manusia.
Kekerasan dan kenakalan remaja disebabkan lebih banyak karena anak-anak tinggal di luar pengawasan orang tua, sementara bagi yang tinggal di lembaga pengasuhan alternatif dan dalam penahanan juga dihadapkan pada risiko intensif terhadap keamanan. Dalam konteks masalah kesejahteraan sosial terdapat kategori kelompok sifat, antara lain sifat patologis, sifat nonpatologis, sifat marjinal, dan masalah-masalah sosial lainnya. Selain itu, masalah kesejahteraan sosial terdapat tiga perspektif, antara lain perspektif residual, perspektif institusional, dan perspektif pengembangan.
Pertama masalah kesejahteraan sosial bersifat marginalisasi menjelaskan bahwa individu, kelompok atau masyarakat yang mengalami kesulitan secara tiba-tiba dalam sosial dan ekonomi, sehingga menyebabkan anak atau remaja berpotensi dan terpaksa melakukan perbuatan negatif, seperti tawuran antar pelajar, bolos sekolah, balapan liar, narkoba, seks bebas, pencurian, dan penipuan.
Kedua masalah kesejahteraan sosial dalam perspektif residual menjelaskan bahwa masalah kesejahteraan sosial ini disebabkan oleh kesalahan-kesalahan yang dilakukan anak atau remaja yang bukan tanggung jawab dari sistem sosial, lembaga sosial, bahkan negara, tetapi menjadi tanggung jawab diri sendiri. Hal ini disebabkan ketika terjadi kekurangan dalam pola pengasuhan akan menyebabkan ketidakmampuan anak dalam mengontrol perasaan emosi dan perilaku yang didukung oleh situasi pola pengasuhan yang otoriter (authoritarian parenting), orang tua yang bercerai, dan orang tua yang miskin yang tidak mampu membiayai kebutuhan hidup anak. Disertai dengan hak dan perlindungan melalui akses pendidikan yang layak yang dapat mencegah dan mengendalikan tingkah laku yang menyimpang.
Pentingnya Peran Secara Partisipatif
Dan tidak kalah penting pemenuhan hak dan perlindungan anak menjadi tanggung jawab bersama, bukan hanya kewajiban orang tua saja, seperti adanya keterlibatan masyarakat yang berhubungan dengan penyuluhan yang partisipatif. Penyuluhan partisipatif adalah kegiatan yang terencana dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan masyarakat dan remaja. Tujuan dari penyuluhan partisipatif adalah agar remaja memperoleh pengalaman belajar, dapat mengembangkan diri, pikiran, tindakan yang dirumuskan oleh dirinya sendiri ataupun secara kolektif (bersama).
Disamping dengan penyuluhan partisipatif Program yang dapat dilakukan dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak, seperti program parenting class. Program ini merupakan salah satu program yang dapat dimanfaatkan di masyarakat dalam meningkatkan kualitas sebagai orang tua dan keluarga dalam pola asuh kepada anak atau remaja. Beberapa kegiatan program parenting class yang dapat dilakukan, seperti memberikan makan (nourishing), memberikan petunjuk (guilding), serta memberikan perlindungan (protecting). Pola asuh orang tua yang baik dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak dapat melalui penerimaan (acceptance), kepedulian (awareness), serta sikap responsif (responsiveness). Hal ini juga dapat mendorong minimnya kenakalan remaja di Indonesia.
Kesimpulan
Pemenuhan hak dan perlindungan anak untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-hak asasi anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, sehingga dapat mewujudkan kesejahteraan pada anak.
Pemenuhan hak dan perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan di dalam masyarakat dan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Adapun upaya-upaya yang telah dilakukan terkait dengan pemenuhan hak dan perlindungan anak dapat mencegah dan mengendalikan masalah kesejahteraan sosial pada anak atau remaja.
Pola asuh orang tua yang memberikan kebebasan dan kemandirian pada anak, tetapi tetap memberikan batasan untuk dapat memantau, mengendalikan perilaku anak, dan mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Jika seluruh pihak memperkuat sinergi dan bergerak bersama, maka penyelesaian masalah ini bukanlah hal mustahil.
*Penulis Adalah Sekretaris Div Paralegal dan Penyuluhan