ARTIKEL (lpbhnusitubondo.com) Salah satu jenis pekerjaan atau profesi yang mendapat stikma buruk bahkan kontruksi sosial yang tidak kalah buruknya adalah pelacuran atau prostitusi. Dibanding dengan profesi lainnya pelacuran adalah profesi yang paling kental dan syarat dengan tekanan, bahkan teror secara psikis, kultur maupun struktur. Tak heran orang yang berada dikomunitas ini cenderung menyembunyikan diri atau berperan dengan berwajah ganda layaknya seorang yang tersenyum dengan hati menangis. Layaknya sebuah panggung drama selalu ada yang disembinyikan dari sisi hidup yang dijalaninya.
Pelacuran sebagai profesi disisi lain melambangkan wujud sesungguhnya dari pergulatan batin bahkan politik, ekonomi, budaya dan moral di dalam masyarakat. Pelacur adalah orang-orang yang terlempar dari pergulatan kuasa sehingga mengalami ketidakberuntungan nasib dan tersudut secara sosial, budaya bahkan politik. Hampir secara keseluruhan kajian tentang pelacuran menunjukkan bahwa menjadi pelacur adalah pilihan terakhir yang disertai keterpaksaan dari para aktor yang menjalaninya.
Dunia pelacuran juga melambangkan ambivalensi pandangan dan sikap masyarakat. Di satu sisi orang yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam dunia ini dihujat, diumpat dan direndahkan, namun di sisi lain dunia ini dibutuhkan dan bahkan tak sedikit dari para anggota masyarakat yang juga menikmatinya. Dan yang paling terpuruk dan termarginalkan bahkan menjadi korban dalam dunia pelacuran ini adalah kaum perempuan dan perempuan dengan daya seksualitasnya cenderung mengalami eksploitasi dari relasi kuasa gender yang timpang dalam masyarakat.
#Pelacuran Dalam Perspektif Agama Islam
Pelacuran merupakan perbuatan zina, perbuatan zina adalah perbuatan menjual kehormatan dan orang yang melacur disebut orang yang menjual kehormatan. Dalam sudut pandang agama islam sudah jelas bahwa pelacuran adalah perbuatan haram, haram artinya tidak boleh dilakukan dan sekiranya tetap dilakukan maka ia akan mendapat sangsi hukum baik di dunia maupun di akhirat. Agama islam sangat memandang mulia kehormatan perempuan, bahkan dalam salah satu hadis Nabi SAW ketika beliau ditanya siapakah orang yang paling wajib dihormati ? beliau menjawab “ Ibumu ”, pertanyaan ini diulang hingga tiga kali dan jawabnya sama yakni “ Ibumu “, dan ketika ditanya keempat kalinya baru beliau menjawab “ Bapakmu “.
Dari hadis diatas bisa kita ambil pelajaran bahwa seorang perempuan dalam agama islam mendapatkan penghormatan dan keistimewaan yang lebih dari seorang laki-laki. Tentu yang dimaksud dengan penghormatan dan keistimewaan di sini adalah memperhatikan seorang perempuan dalam bidang pendidikan dan agama mereka, dengan memberi perhatian dan kepedulian lebih kepada mereka diharapkan pelacuran akan berkurang. Jika kedudukan seoran perempuan dalam islam sangat dihormati maka tentu islam akan melarang mereka menjatuhkan dirinya dalam lubang kemaksiatan.
#Pelacuran Dalam Perspektif Hukum Positif
Prostitusi atau pelacuran merupakan bentuk kejahatan kesusilaan yang di larang baik dalam hukum islam maupun hukum positif. Pelacuran adalah penukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah-hadiah sebagai seautu transaksi perdagangan. Berkaitan denga prostitusi atau pelacuran hukum positif mengaturnya dalam KUHP pasal 295, 296, 297 dan 506 dimana pasal tersebut hanya sebatas memberikan sangsi pidana bagi mucikari atau penghubung dan orang-orang yang menyediakan fasilitas atau tempat-tempat pelacuran (R.Susilo, KUHP serta komentar-komentarnya). Ketentuan lain yang mungkin dapat digunakan untuk menjerat praktik pelacuran adalah UU no 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dimana dalam UU ni 21 tahun 2007 pelacur (PSK) hanya ditempatkan sebagai korban sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1 ayat 8. Selain itu UU no 44 tahun 2008 tentang Pornografi, prihal prostitusi salah satunya diatur dalam pasal 4 ayat 2. Pasal tersebut mengatur tentang larangan bagi setia orang yang menyediakan jasa pornografi yang satu diantaranya adalah menawarkan atau mengiklankan baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.
Pemerintah daerah kota Situbondo juga tidak ketinggalan menyoroti dan menyikapi kasus pelacuran yang marak terjadi dan menuangkan peraturan daerah yang tertuang dalam Perda Situbondo no 27 tahun 2004 tentang Larangan Praktik Pelacuran. Tentunya hal itu sebuah tujuan yang mulia, dengan adanya Perda Situbondo no 27 tahun 2004 tentang Larangan Praktek Pelacuran ini paling tidak ada control dan kehadiran pemerintah ke dalam permasalahan yang cukup pelik ini. Namun Perda ini tidak cukup kuat untuk menghapus pelacuran keakart-akarnya terbukti bahwa praktik pelacuran masih terjadi di beberapa tempat di Kabuaten Situbondo.
Berdasarkan penelusuran penulis, Perda Situbondo No 27 tahun 2004 Tentang Larangan Praktik Pelacuran di nilai tidak efektif sehingga dewan dalam hal ini komisi I DPRD Situbondo kembali menyusun Perda tentang Pelacuran atau Prostitusi, sebagai mana keterangan yang penulis dapat dari media Radar Situbondo yang di publikasi tanggal 10 Januari 2023. Dalam keterangan tersebut ketua Komisi I DPRD Situbondo Hadi Prianto memberi keterangan bahwa Perda Situbondo No 27 tahun 2004 tentang Larangan Praktik Pelacuran dinilai tidak berhasil memberangus praktik pelacuran di kota Situbondo sehingga aktivitas terlarang itu tetap saja berlangsung meski sembunyi-sembunyi sehinnga keberadaan Perda tersebut belum memiliki dampak yang maksimal. Diharapkan dengan lahirnya Perda yang baru dapat dilakukan penanganan serta memberi solusi yang lebih konprehensif tentang permasalahan yang terjadi.
#Pelacuran Dalam Perspektif Sosial
Tidak perlu ada perdebatan untuk membuktikan keberadaan prostutusi atau pelacuran. Kejahatannya begitu buruk hingga tidak ada yang bisa mengalahkannya. Akan tetapi bila penyebab dan pengaruhnya dipertanyakan terlihat penuh pengabaian dan pembiaran. Hanya sedikit orang yang ingin mengetahui rahasia ataupun asal mula dari mana pelacuran muncul. Beberapa orang takut mencari tau seberapa besar kejahatan itu, hanya sedikit yang ingin mengetahui kehancuran yang diakibatkannya. Masyarakat secara resmi melarang pelacuran bahkan menilainya sebagai penyakit. Mereka yang berani terang terangan menjadi bagian dan menyinggung masalah ini harus bersiap menghadapi kegeraman dan kecaman masyarakat.
Disisi lain, Prof. Dr. Nur Syam seorang guru besar Sosiologi mengatakan pelacuran tidak bisa dipisahkan dari tema seksualitas yang merupakan budaya manusia tertua. Di dalam sejarah agama-agamapun terutama terkait dengan reproduksi, seksualitas bagian terpenting dari proses reproduksi. Dari nuansa seksualitas inilah pelacuran mendapat tempat sehingga menjadi hal yang bernilai sensasi dan ekonomi.
Pelacuran atau prostitusi dan pelacur adalah dua hal yang berbeda. Pelacuran adalah suatu praktik penukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah-hadiah sebagai seautu transaksi perdagangan. Sedangkan pelacur adalan sebutan yang ditujuk pada perempuan yang terlibat dalam praktik pelacuran tersebut. Erving Goftman, Beliau mengatakan manusia dalam kehidupan keseharian adalah seperti drama yang dipentaskan (Dramaturgi), dimana tindakan yang dilakukan di panggung depan dan panggung belakang bisa saja tidak sama atau bahkan jauh berbeda. Semua orang di dalam struktur sosial akan terkena prinsip dramaturgi ini. Pejabat-rakyat, pengusaha, suami- istri dan siapapun akan selalu berada di dalam situasi dramaturgis. Tak terkecuali para pelacur di dalam kehidupannya. Ada beberapa alasan mengapa teori dramaturgi dianngap penting untuk memandang permasalahan ini. Diantaranya Pertama pelacur adalah manusia yang hidup di dunia yang sering tidak dikehendakinya (keterpaksaan) sehingga antara apa yang tanpak di depan dengan apa yang tampak di belakang bisa tidak sama. Kedua meskipun pelacur di panggung depan adalah seorang yang dinilai oleh masyarakat sebagai pekerja seks yang merusak moralitas masyarakat namun di panggung belakang tetepa saja ada sisi kebaikan yang ditampilkan seperti tanggung jawab sebagai orang tua yang menjaga masa depan keluarga dan anak-anaknya supaya mendapat penghidupan yang layak dan memastikan masa depannya lebih cerah dan lebih baik.
Terkait dengan kenyataan ini maka sudut pandang dramaturgis lebih menawarkan pendekatan yang humanis sembari tidak melupkan esensi untuk mengentas para pelacur dari kubangan lumpur hitam.
#Konklusi
Dari uraian di atas kita semua tau bahwa pelacuran adalah hal yang terburuk atau kejahatan dalam kehidupan yang dapat merusak moral suatu bangsa. Menjadi pelacur bukanlah tindakan yang diinginkan oleh siapapun, termasuk oleh pelacur itu sendiri. Terdapat banyak faktor yang menjerumuskan mereka ke lembah pelacuran. Tekanan okonomi, sosial maupun rumah tangga bisa menjadi faktor penentu yang menjerumuskan mereka ke dunia pelacuran. Namun, pelacur juga manusia yang membutuhkan uluran tangan-tangan hangat untuk diselamatkan bukan hanya mendapatkan stikma negatif. Tentunya butuh sinkronisasi antar kelompok baik itu pemerintah, tokoh agama dan masyarakat untuk menyelematkan mereka dari dunia yang penuh lumpur.