Iklan

terkini

Bebas Beragama Terbatas Beribadah

Lpbhnu Situbondo
, 7/30/2024 WIB Last Updated 2024-07-30T04:40:59Z



ARTIKEL (lpbhnusitubondo.comEksistensi sila pertama secara eksplisit menghendaki setiap warga negara untuk bertuhan yang satu di tengah kemajemukan agama dan pluralitas aliran yang berakar pada kepercayaan yang moderat (tidak berpaham radikal). Sebagai negara berketuhanan, negara melalui pemerintah wajib secara responsif memberikan akses beribadah yang proporsional, aman dan nyaman demi terciptanya kerukunan hidup beragama, salah satunya melalui pembentukan kaidah hukum yang berkeadilan.

Dalam Peraturan Perundang-Undangan, terdapat satu kaidah hukum yang substansinya menimbulkan polemik dan berpotensi melahirkan konflik sosial antar penganut agama sebab di dalamnya pemerintah memegang kendali secara berlebih mengenai pendirian rumah peribadatan, hal ini tercermin dalam Pasal 14 ayat (2) Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 yang mana seharusnya tujuan utamanya ialah dikhususkan untuk menertibkan pendirian rumah peribadatan bagi masing-masing pemeluk agama secara inheren, namun ternyata dalam pelaksanaannya, mekanisme penyelenggaraan PBM tersebut justru menjadi penghambat berdirinya rumah ibadah karena persyaratan administratif yang melekat di dalamnya tidak mudah dipenuhi khususnya bagi kelompok minoritas, selain itu juga substansi dari PBM ini secara faktual mengandung aturan intoleran terhadap sebagian kelompok yang bernotabene sebagai pemeluk agama minoritas.

Pasal 14 ayat (2) PBM No. 8/9 Tahun 2006

Meskipun Negara menjamin kebebasan beragama bagi seluruh warganya, namun dalam hal beribadah, para penganut agama tidak diberikan kebebasan untuk mendirikan tempat peribadatannya. Mereka harus terlebih dahulu memenuhi syarat administratif tertentu yaitu memiliki minimal 90 jemaah dan disetujui oleh paling sedikitnya 60 masyarakat setempat. Problematika pertama muncul ketika beberapa daerah di Indonesia memiliki presentase penganut agama yang lebih sedikit dibandingkan dengan penganut agama lain sehingga sulit bagi mereka untuk memiliki rumah ibadah karena tidak terpenuhinya syarat 90 orang. Konsekuensinya, penganut agama minoritas harus pergi ke daerah lain untuk dapat melaksanakan ibadah. Bahkan lebih ironisnya lagi, beberapa kelompok minoritas menggunakan fasilitas umum seperti ruko, rumah tinggal, atau gedung serbaguna untuk melangsungkan ibadahnya. Problematika kedua timbul ketika meskipun syarat 90 terpenuhi namun masyarakat setempat menolak pendirian rumah ibadah yang mengakibatkan persyaratan 60 tidak tercapai, maka pendirian rumah ibadah tersebut tidak dapat dilangsungkan.

Sebagai contoh, umat kristiani di kecamatan Maja, Banten, harus melakukan perjalanan dengan jarak tempuh sejauh 20 kilometer untuk merayakan ibadah Natal karena tidak adanya satupun gereja di daerah tersebut. Sebelumnya mereka telah mengajukan izin kepada bupati setempat untuk menggunakan salah satu gedung di komplek perumahan sebagai tempat ibadah, namun permohonan tersebut akhirnya ditolak karena mendapat penentangan dari sejumlah warga setempat. Selain itu, fenomena serupa juga terjadi di kota Cilegon sebagai daerah tanpa gereja sehingga membuat warga kristiani harus beranjak menuju kota serang dengan menempuh jarak sekitar 50 kilometer hanya untuk menumpang ibadah. Kasus lain yang juga terjadi di kota Cilegon ialah penolakan pembangunan gereja Maranatha oleh penduduk setempat dengan alasan bahwa kota Cilegon merupakan daerah yang didominasi oleh mayoritas penduduk muslim. Dari sini terlihat bahwa indeks toleransi masih menunjukkan kecenderungan yang rendah, Negara yang seharusnya melindungi dan memfasilitasi kebebasan beragama dan beribadah pada realitanya justru membiarkan kelompok minoritas terdikriminasi oleh kelompok mayoritas. Pada akhirnya, fenomena-fenomena tersebut melahirkan suatu paradoks dimana Indonesia yang kerap menyerukan pentingnya sikap toleransi dan semangat keberagaman serta menjunjung tinggi kebhinnekaan, pada realitanya masih lazim ditemukan adanya kelompok agama minoritas yang kerap menghadapi penolakan dan kesulitan dalam membangun rumah peribadatannya.

Regulasi mengenai persyaratan pendirian rumah ibadah dalam PBM ini ternyata tidak memunculkan keadilan bagi kelompok minoritas, hal ini tercermin dari banyaknya jumlah Masjid dan Musholla yang tersebar bahkan tidak jarang kita jumpai 3 hingga 5 Masjid/Musholla yang relatif berdekatan di sepanjang jalan, namun jarang dijumpai rumah peribadatan bagi umat non-muslim bahkan dalam satu kecamatan bisa dihitung hanya terdapat 1 (satu) rumah peribadatan. Dengan demikian, fenomena tersebut seharusnya menjadi parameter bagi Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri untuk memenungkan realitas sosial bahwa aturan intoleran dalam PBM tersebut dapat memicu terjadinya pembatasan hak beribadah khususnya bagi kelompok minoritas. Oleh sebab itu, Pemerintah melalui Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri sepatutnya mengambil langkah progresif untuk mencabut aturan yang bersifat intoleran sebagaimana termuat dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 dengan melakukan tinjauan ulang dan revisi terutama berterkaitan dengan persyaratan administratif pendirian rumah ibadah pada Pasal 14 ayat (2).

*Penulis Hafidah.S

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Bebas Beragama Terbatas Beribadah

1 ABAD NU

+